Kamis, 21 Oktober 2010

Biar Saja

Pagi itu, 31 Agustus 2009, selepas rapat Pengurus Harian BEM KM FMIPA UGM 2009, saya diajak oleh Mas Aza, yang merupakan ketua BEM KM FMIPA UGM 2009 untuk mengumpulkan kertas-kertas bekas yang ada di dalam sekretariat BEM. Kertas-kertas tersebut rencananya akan dijual untuk membiayai buka puasa bersama seluruh anggota BEM.

Setelah beberapa lama, Mas Aza menemukan buletin Scientica edisi Februari 2005. Pelu diketahui, Scientica adalah nama media terbitan Divisi Opini dan Media BEM KM FMIPA UGM. Jika dibandingkan dengan Scientica edisi sekarang, konten Scientica edisi terdahulu lebih bagus. Oleh karena itu, Mas Aza menyerahkan buletin tersebut kepada Eka Agustina, staf Departemen Kajian Strategis (Kastrat) BEM KM FMIPA UGM untuk selanjutnya diserahkan ke Kadiv Opmed, Puspita Ratri, agar selanjutnya Divisi Opmed melakukan perubahan konten Scientica supaya tidak kalah dengan edisi-edisi pendahulunya.

Sebelum diserahkan ke Pu, sapaan akrab Puspita, saya segera meminta buletin tersebut untuk saya baca. Ternyata benar saja jika kontennya lebih bagus dibandingkan Scientica edisi sekarang. Tulisan-tulisan dari Zulfadli, Ketua BEM waktu itu, begitu indah dibaca. Terlebih lagi ketika saya menemukan puisi berjudul “biar saja”, karya dari Ibnu Wahyudi. Puisi itu begitu menyindir kebanyakan mahasiswa yang tidak sadar terhadap perannya sebagai mahasiswa. Berikut ini adalah puisi “biar saja”.


Biar saja
Seandainya lima dari sepuluh mahasiswa
Lebih menyukai sandal
Asal berpikirnya tetap intelektual


Biar saja
Seandainya tiga dari sepuluh mahasiswa
Lebih sibuk mengikat rambutnya
Asal dalam kepalanya masih ada logika


Biar saja
Seandainya enam dari sepuluh mahasiswa
Lebih bergaya dengan kaos oblong
Asal dada dan nuraninya tidak kosong melompong


Biar saja
Seandainya delapan dari sepuluh mahasiswa
Lebih asik dengan walkmannya
Asal kasetnya bukan bajakan


Biar saja
Seandainya sembilan dari sepuluh mahasiswa
Lebih memilih pinjam catatan temannya
Dan menyalin dengan rapinya
Asalkan tahu apa yang ditulisnya


Tapi Apakah harus dibiarkan
Seandainya hanya satu dari sepuluh mahasiswa
Yang tahu bahwa dirinya adalah mahasiswa
Yang tahu bahwa sekolahnya masih disubsidi negara
Yang tahu bahwa untuk menjadi sarjana perlu membaca dan terus bertanya
Yang tahu bahwa…


Terserah buat pembaca untuk menafsirkan puisi di atas. Yang pasti, Ibnu Wahyudi ingin mengingatkan kepada kita semua tentang peran mahasiswa melalui puisinya. Mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat. Oleh karena itu, mahasiswa harus terus belajar dan belajar agar dapat menjadi penyambung lidah rakyat yang sebenarnya. Belajar di sini bukan hanya belajar di dunia akademik, tetapi juga mahasiswa harus belajar peka terhadap problematika sosial yang terjadi di negeri ini. Majulah terus mahasiswa Indonesia.

2 komentar:

  1. Wah, saya lumayan terkejut ketika sore ini berselancar di dunia maya, menemukan sajak saya yang secara khusus Anda muat. Terima kasih. Boleh saya memperoleh kopi dari majalah yang memuat sajak saya tersebut. Salam, Ibnu Wahyudi.

    BalasHapus
  2. salam mas Ibnu Wahyudi, maaf baru sempat membalas mas, saya baru buka blog saya lagi hehehe.
    Seingat saya buletin Scientica yang memuat puisi mas Ibnu sudah saya kembalikan ke BEM mas.

    BalasHapus